KEPADATAN
Menurut Altman (dalam Prabowo, 1998), di dalam studi sosiologi sejak tahun 1920an, variasi indicator kepadatan berhubungan dengan tingkah laku sosial. Variasi indicator kepadatan meliputi jumlah individu dalam sebuah kota, jumlah individu pada daerah sensus, jumlah inndividu pada unit tempat tinggal, jumlah ruangan pada unit tempat tinggal, jumlah bangunan pada lingkungan sekitar dan lain-lain.
Kepadatan dapat dibedakan ke dalam beberapa kategori. Holahan (dalam Prabowo, 1998) menggolongkan kepadatan dalam 2 kategori yaitu:
1. Kepadatan spasial (spatial density) yang terjadi bila besar atau luas ruangan diubah menjadi lebih kecil atau sempit sedangkan jumlah individu tetap, sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan menurun besar ruang.
2. Kepadatan sosial (social density) yang terjadi bila jumlah individu ditambah tanpa diiringi dengan penambahan besar atau luas ruangan sehingga didapatkan kepadatan emningkat sejalan dengan bertambahnya individu.
Menurut Altman (dalam Prabowo, 1998) membagi kepadatan menjadi kepadatan dalam (inside density) dan kepadatan luar (outside density).
1. Kepadatan dalam
Sejumlah individu yang berada dalam suatu ruang atau tempat tinggal seperti kepadatan di dalam rumah, kamar dan lain-lain.
2. Kepadatan luar
Sejumlah individu yang berada pada suatu wilayah tertentu, seperti jumlah penduduk yang bermukim di suatu wilayah pemukiman.
Zlutnick dan Altman (dalam Prabowo, 1998) menggambarkan sebuah model dua dimensi untuk menunjukkan beberapa macam tipe lingkungan pemukiman, antara lain :
1. Lingkungan pinggiran kota, yang ditandai dengan tingkat kepadatan luar dan kepadatan dalam yang rendah.
2. Wilayah desa miskin dimana kepadatan dalam tinggi sedangkan kepadatan luar rendah,
3. Lingkungan mewah perkotaan, dimana kepadatan dalam rendah sedangkan kepadatan luar tinggi.
4. Perkampungan kota yang ditandai dengan kepadatan luar dan kepadatan dalam yang tinggi.
Menurut Taylor (dalam Prabowo, 1998), lingkungan sekitar dapat merupakan sumber yang penting dalam mempengaruhi sikap, perilaku dan keadaan internal seseorang di suatu tempat tinggal. Oleh karena itu, individu yang bermukim di pemukiman dengan kepadatan yang berbeda mungkin menunjukkan sikap dan perilaku yang berbeda pula.
AKIBAT KEPADATAN TINGGI
Menurut Heimstra dan Mc Farling (dalam Prabowo, 1998) kepadatan memberikan akibat bagi manusia baik secara fisik, sosial maupun psikis.
• Akibat secara fisik
Reaksi fisik yang dirasakan individu seperti peningkatan detak jantung, tekanan darah, dan penyakit fisik lain.
• Akibat secara sosial
Adanya masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat seperti meningkatkan kriminalitas dan kenakalan remaja.
• Akibat secara psikis
Terdapat beberapa akibat berdampak pada psikis, antara lain :
o Stres, kepadatan tinggi dapat menumbuhkan perasaan negatif, rasa cemas dan perubahan suasana hati.
o Menarik diri, kepadatan tinggi menyebabkan individu cenederung untuk menarik diri dan kurang mau berinteraksi dengan lingkungan sosialnya.
o Perilaku menolong (prososial) kepadatan tinggi juga menurunkan keinginan individu untuk menolong atau memberi bantuan pada orang lain yang membuuhkan terutama pada orang yang tidak dikenal.
o Kemampuan mengerjakan tugas, situasi padat menurunkan kemampuan individu untuk mengerjakan tugas-tugasnya pada saat tertentu.
o Perilaku agresi, situasi padat yang dialami individu dapat menumbuhkan frustasi dan kemarahan, serta pada akhirnya akan terbentuk perilaku agresi.
KESESAKAN
Menurut Altman (dalam Prabowo, 1998), kesesakan adalah suatu proses interpersonal pada suatu tingkatan interaksi manusia dengan manusia satu dengan lainnya dalam satu pasangan atau kelompok kecil. Perbedaan pengertian antara crowding (kesesakan) dengan density (kepadatan) memiliki pengertian yang sama dalam merefleksikan pemikiran secara fisik dari sejumlah manusia dalam suatu kesatuan ruang.
Morris (dalam Prabowo, 1998) member pengertian kesesakan sebagai deficit suatu ruangan. Hal ini berarti bahwa dengan adanya sejumlah orang dalam suatu hunian rumah, maka ukuran per meter persegi setiap orangnya menjadi kecil, sehingga dirasakan adanya kekurangan ruang. Dalam suatu unit hunian, kepadatan ruang harus diperhitungkan dengan mebel dan peralatan yang diperlukan untuk suatu aktivitas. Oleh karenanya untuk setiap ruang akan memerlukan suatu ukuran standar ruang yang berbeda, karena fungsi dari ruang itu berbeda.
Adapun kesesakan dikatakan sebagai keadaan motivasional yang merupakan interaksi dari faktor spasial, sosial dan personal, dimana pengertiannya adalah persepsi individu terhadap keterbatasan ruang sehingga timbul kebutuhan akan ruang yang lebih luas. Jadi rangsangan berupa hal-hal yang berkaitan dengan keterbatasan ruang disini kemudian diartikan sebagai suatu kekurangan. Pada dasarnya batasan kesesakan melibatkan persepsi seseorang terhadap keadaan ruang yang dikaitkan dengan kehadiran sejumlah manusia, dimana ruang yang tersedia dirasa terbatas atau jumlah manusianya yang dirasa terlalu banyak.
PENGUKURAN KESESAKAN
Kesesakan dalam penelitian ini diukur dengan skala kesesakan yang disusun berdasarkan aspek-aspek kesesakan oleh Gifford. Kesesakan mengacu pada faktor internal dan eksternal. Kalb & Keating (dalam Zuhriyah, 2007) meneliti para pelanggan toko buku universitas dalam situasi yang ramai. Subjek penelitian diminta mengungkapkan situasi yang dialami. Responden tersebut menyatakan kesesakan mengacu pada perasaan negatif dalam diri yang timbul akibat keramaian yang terjadi (internal focus) dan di sisi lain kesesakan mengacu pada bagaimana keramaian itu terjadi atau lebih menunjuk pada faktor di luar diri (external focus).
Menurut Stokols dan Sundstrom (dalam Zuhriyah, 2007) kesesakan memiliki tiga aspek yakni:
a) Aspek situasional, didasarkan pada situasi terlalu banyak orang yang saling berdekatan dalam jarak yang tidak diinginkan sehingga menyebabkan gangguan secara fisik dan ketidaknyamanan, tujuan yang terhambat oleh kehadiran orang-orang yang terlalu banyak, ruangan yang menjadi semakin sempit karena kehadiran orang baru ataupun kehabisan ide.
b) Aspek emosional, menunjuk pada perasaan yang berkaitan dengan kesesakan yang dialami, biasanya adalah perasaan negatif pada orang lain maupun pada situasi yang dihadapi. Perasaan positif dalam kesesakan tidak dapat dipungkiri, namun perasaan ini hanya terjadi jika individu berhasil menangani rasa sesak dengan strategi penanggulangan masalah yang digunakan.
c) Aspek perilakuan, kesesakan menimbulkan respon yang jelas hingga samar seperti mengeluh, menghentikan kegiatan dan meninggalkan ruang, tetap bertahan namun berusaha mengurangi rasa sesak yang timbul, menghindari kontak mata, beradaptasi hingga menarik diri dari interaksi sosial.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KESESAKAN
Faktor-faktor yang mempengaruhi kesesakan meliputi faktor individu, sosial dan fisik (dalam Zuhriyah, 2007) :
a) Faktor individu
Faktor individu terdiri atas kepribadian, minat dan harapan-harapan individu. Faktor kepribadian meliputi kemampuan kontrol dalam diri individu. Kendali diri internal yakni keyakinan bahwa segala sesuatu yang terjadi lebih dipengaruhi oleh diri individu sendiri dapat membantu individu menghadapi stres akibat kesesakan yang dirasakan. Minat berkaitan dengan kecenderungan berafiliasi atau bersosialisasi. Individu yang memiliki ketertarikan terhadap individu lain dalam ruangan yang padat akan memiliki toleransi terhadap kesesakan yang lebih tinggi daripada individu yang tidak memiliki kecenderungan untuk berafiliasi dengan individu lain dalam ruang yang padat. Hal ini terlihat dalam penelitian Stuart Miller, dkk (dalam Zuhriyah, 2007) pada tahun 1971 yang menyatakan bahwa kecenderungan berafiliasi yang tinggi membantu individu menghadapi kepadatan yang tinggi daripada ketika harus menghadapi kepadatan yang tinggi seorang diri. Harapan atau prasangka juga mempengaruhi rasa sesak yang dirasakan, individu yang berharap pertambahan orang baru hanya sedikit tidak terlalu merasa sesak dibanding individu yang menyangka pertambahan orang baru dalam ruangan akan lebih banyak dari keadaan sebenarnya. Selanjutnya pengalaman pribadi akan mempengaruhi tingkat stres yang terjadi akibat kepadatan yang tinggi. Individu yang telah terbiasa dengan situasi yang padat akan lebih adaptif dan lebih bersikap toleran dalam menghadapi kepadatan dalam situasi baru.
b) Faktor sosial
Faktor sosial antara lain kehadiran dan tingkah laku orang yang berjarak paling dekat, koalisi yang terbentuk dalam kelompok-kelompok kecil dan informasi yang diterima individu berkaitan dengan kesesakan yang dirasakan. Hambatan terhadap tujuan yang ingin dicapai dapat menimbulkan stres. Ketika kepadatan meningkat, privasi menjadi menurun sehingga individu harus berpikir keras untuk menghadapi situasi yang menekan, gangguan secara fisik meningkat dan kemampuan kontrol dapat berkurang. Faktor sosial lain adalah kualitas hubungan diantara individu yang harus berbagi ruang. Individu yang memiliki cara pandang yang sama akan merasa cocok satu sama lain dan lebih mudah menghadapi situasi yang padat, sementara informasi yang jelas dan akurat akan membantu individu menghadapi kesesakan yang dialami.
c) Faktor fisik
Faktor fisik meliputi keadaan ruang, bangunan, lingkungan, kota, dan arsitektur bangunan seperti ketinggian langit-langit, penataan perabot, penempatan jendela dan pembagian ruang. Menurut penelitian Baum, dkk (dalam Zuhriyah, 2007) pada tahun 1978, koridor yang panjang menimbulkan rasa sesak juga persaingan dan penarikan diri secara sosial, menurunkan kerja sama, dan menimbulkan kontrol diri yang rendah.
DAFTAR PUSTAKA
Prabowo, Hendro. 1998. Arsitektur, Psikologi dan Masyarakat. Depok : Universitas Gunadarma.
Zuhriyah. 2007. Hubungan antara Kesesakan dengan Kelelahan Akibat Kerja pada Karyawan bagian Penjahitan Perusahaan Konveksi PT Mondrian Klaten Jawa Tengah. Skripsi. Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar