Kamis, 21 April 2011

PRIVASI, TERITORIAL, DAN RUANG PERSONAL

A. PRIVASI

Privasi merupakan tingkatan interaksi atau keterbukaan yang dikehendaki seseorang pada suatu kondisi atau situasi tertentu. Tingkatan privasi yang diinginkan itu menyangkut keterbukaan atau ketertutupan, yaitu adanya keinginan untuk berinteraksi dengan orang lain atau justru ingin menghindar atau berusaha supaya sukar dicapai oleh orang lain dengan cara mendekati atau menjauhinya. Lang ( dalam Prabowo, 1998) berpendapat bahwa tingkat dari privasi tergantung dari pola-pola perilaku dalam konteks budaya dan dalam kepribadian dan aspirasi dari keterlibatan individu. Menurut Sarwono (1992) privasi adalah keinginan atau kecenderungan pada diri seseorang untuk tidak diganggu kesendiriannya.
Rapoport (dalam soesilo, 1988) mendefinisikan privasi sebagai suatu kemampuan untuk mengontrol interaksi, kemampuan untuk memperoleh pilihan-pilihan dan kemampuan untuk mencapai interaksi seperti yang diinginkan. Privasi jangan dipandang hanya sebagai penarikan diri seseorang secara fisik terhadap pihak-pihak lain dalam rangka meenyepi saja. Sementara menrut Altman (1975)mendefinisikan privasi dalam bentuk yang lebih dinamis. Menurutnya privasi adalah proses pengontrolan yang selektif terhadap akses kepada diri sendiri dan akses kepada orang lain. Kemudian Altman menjabarkan beberapa fundi privasi antara lain :
• Pengatur dan pengontrol interaksi interpersonal yang berarti sejauh mana hubungan dengan orang lain diinginkan, kapan waktnya menyendiri dan kapan waktunya bersama-sama dengan orang lain.
• Merencanakan dan membuat strategi untuk berhubungan dengan orang lain, yang meliputi keintiman atau jarak dalam berhubungan dengan orang lain.
• Memperjelas konsep diri dan identitas diri.
Sementara itu marshal (dalam Prabowo, 1998) berusaha membuat alat yang berisi serangkaian pernyataan tentang privasi dalam berbagai situasi (dinamakan Privacy Preference Scale) dan terdapat enam jenis orientasi tentang privasi yang dapat dikelompokan ke dlam dua kelompok besar yaitu :
• Tingkah laku menarik diri (withdrawl), dibagi menjadi 3 orientasi:
a.Solitude (keingian untuk menyendiri)
b.Seclusion (keinginan untuk menjauh dari pandangan dan gangguan suara tetangga serta kebisingan lalu lintas)
c.Intimacy (keinginan untuk dekat denga keluarga dan orang-orang tertentu, tetapi jauh dari semua orang lain)
• Tingkah laku mengontrol informasi (control of information), dibagi menjadi 3 orientasi :
a.Anonymity (keinginan untuk merahasiakan jati diri )
b.Reserve (keinginan untuk tidak mengungkapkan diri terlalu banyak kepada orang lain)
c.Not-neightboring (keinginan untuk tidak terlibat dengan tetangga)

Faktor-faktor yang Mempengaruhi privasi :
1.Faktor Personal
Marshall (dalam Prabowo, 1998) mengatakan bahwa perbedaan dalam latar belakang pribadi akan berhubungan dengan kebutuhan akan privasi. Dalam penelitiannya, ditemukan bahwa anak-anak yang tumbuh dalam suasana rumah yang sesak akan lebih memilih keadaan yang anonim dan reserve saat ia dewasa. Sedangkan orang menghabiskan sebagian besar waktunya dikota akan lebih memilih keadaan anonim dan intimacy.
2.Faktor Situasional
Penelitian Marshall (dalam Prabowo, 1998) tentang privasi dalam rumah tinggal, menemukan bahwa tinggi rendahnya privasi didalam rumah antara lain disebabkan oleh setting rumah. Setting rumah disini sangat berhubungan seberapa sering para penghuni berhubungan dengan orang, jarak antar rumah dan banyaknya tetangga sekitar rumah. Seseorang yang mempunyai rumah yang jauh dari tetangga dan tidak dapat melihat banyak rumah lain disekitarnya dari jendela dikatakan memiliki kepuasan akan privasi yang lebih besar.
3.Faktor Budaya
Penemuan dari beberapa peneliti tentang privasi dalam berbagai budaya (seperti Patterson dan Chiswick pada suku Iban di Kalimantan, Yoors pada orang Gipsy dan Geertz pada orang jawa dan Bali) memandang bahwa tiap-tiap budaya tidak ditemukan adanya perbedaan dalam banyaknya privasi yang dinginkan, tetapi sangat berbeda dalam cara bagaimana mereka mendapatkan privasi.

B. TERITORIALITAS

Holahan (dalam Prabowo, 1998) mengungkapkan bahwa teritorialitas adalah suatu tingkah laku yang diasosiasikan pemilikan atau tempat yang ditempatinya atau area yang sering melibatkan ciri pemilikannya dan pertahanan dari serangan orang lain. Dengan demikian menurut Altman, penghuni tempa tersebut dapat mengontrol daerahnya atau unitnya dengan benar atau merupakan suatu teritorial primer.
Menurut Lang (dalam Prabowo,1998) terdapat empat karakter dari teriorialitas yaitu :
1.Kepemilikan atau hak dari suatu tempat
2.Personalisasi atau penandaan dari suatu area tertentu
3.Hak untuk mempertahankan diri dari gangguan luar
4.Pengatur dari beberapa fungsi, mulai dari bertemunya kebutuhan dasar psikologis sampai kepada kepuasan kognitif dan kebutuhan-kebutuhan estetika.

Altman membagi teritorialitas menjadi 3 yaitu :
1.Teritorialitas primer
Jenis teritori ini dimiliki serta dipergunakan secara khusus bagi pemiliknya . pelanggaran terhadap teritori utama ini akan mengakibatkan timbulnya perlawanan dari pemiliknya dan ketidakmampuan untuk mempetahankan teritori utama ini akan mengakibatkan masalah yang serius terhadap aspek psikologis pemiliknya, yaitu dalam hal harga diri dan identitasnya . yang termasuk dalam teritorial ini adalah ruang kerja, ruang tidur, pekarangan, wilayah negara, dan sebagainya.
2.Teritorial sekunder
Jenis teritori ini lebih loggar pemakaiannya dan pengotrolan oleh perorangan. Teritorial ini dapat digunakan oleh orang lain yang masih didalam kelompok ataupun orang yang mempunyai kepentingan kepada kelompok itu. Sifat teritorial sekunder adalah semi-publik. Yag termasuk dalam teritorial ini adalah sirkulasi lalu lintas di dalam kantor, toilet, zona servis dan sebagainya.
3.teritorial umum
Dapat digunakan oleh setiap orang dengan mengikuti aturan-aturan yang lazim didalam masyarakat dimana teritorial umum itu berada. Teritorial umum dapat dipergunakan secara sementara dalam jangka waktu lama maupun singkat. Contohnya adalah taman kota, tempat duduk dalam bis kota, gedung bioskop, ruang kuliah, dan sebagainya. Berdasarkan pemakaiannya, teritorial umum dibagi menjadi tiga yaitu :
Stalls
Merupakan suatu tempat yang dapat disewa atau dipergunakan dalam jangka waktu tertentu, biasanya berkisar antara jangka waktu lama dan agak lama. Kontrol terhadap stalls terjadi pada saat penggunaan saja dan akan berhenti pada saat penggunaan waktu habis.
Turns
Turns mirip dengan stalls, hanya berbeda dalam jangka waktu penggunaannya saja. Turns dipakai orang dalam waktu yang singkat, misalnya tempat antrian karcis, antrian bensin dan sebagainya.
use space
teritorial yang berupa ruang yang dimulai dari titik kedudukan seseorang ke titik kedudukan objek yang sedang diamati sseorang.
Perilaku teritorialitas manusia dalam hubungannya dengan lingkungan binaan dapat dikenal antara lain pada penggunaan elemen-elemen fisik untuk menandai demarkarsai teritori yang dimiliki seseorang, misalnya pagar halaman. Teritorialitas ini terbagi sesuai dengan sifatnya yaitu mulai dari yang privat sampai dengan publik. Ketidakjelasan pemilikan teritorial akan menimbulkan gangguan terhadap perilaku.

C. RUANG PERSONAL

Istilah personal space pertama kali digunakan oleh Katz pada tahun 1973 dan bukan merupakan sesuatu yang unik dalam istilah psikologi, karena istilah ini juga dipakai dalam bidang biologi, antropologi, dan arsiktektur. Selanjunya dikatakan bahwa studi personal space merupakan tinjauan terhadap perilaku hewan dengan cara mengamati perilaku mereka berkelahi, terbang dan jarak sosial antara yang satu dengan yang lain. Kajian ini kemudian ditransformasikan dengan cara membentuk pembatas serta dapat pula diumpamakan semacam gelembung yang mengelilingi individu dengan individu lain.
Menurut Sommer (dalam Praabowo, 1998), ruang personal adalah daerah disekeliling seseorang dengan batas-batas yang tidak jelas dimana seseorang tidak boleh memasukinya. Goffmn menggambarkan ruang personal sebagai jarak/daerah disekitar individu dimana dengan memasuki daerah orang lain menyebabkan orang lain tersebut merasa batasnya dilanggar, merasa tidak senang, dan kadang-kadang menarik diri.
Menurut Edward T.Hall, seorang antropolog bahwa dalam interaksi sosial terdapat 4 zona spasial yang meliputi :
1.Jarak intim
Jarak yang dekat/akrab dengan jarak 0-18 inci. Menurut Hall pada jarak yang akrab ini kemunculan orang lai adalah jelas sekali dan mungkin suatu saat akan menjadi sangat besar karena sangat meningkatnya. Pada jarak 0-6 inci (fase dekat pada jarak intim), kontak fisik merupakan suatu hal yang teramat penting. Hall menggambarkan bahwa pada jarak ini akan mudah terjadi pada saat orang yang sedang bercinta, olahraga gulat, saling menyenangkan dan melindungi. Jika zona ini menyenangkan dalam suatu situasi yaitu ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain yang dicintainya, mungkin akan menjadi tidak menyenangkan dalam situasi lain.
2. Jarak personal
Jarak pribadi yang memiliki jarak antara 1,5-4 kaki. Jarak ini sdalah karakteristik kerenggangan yang biasa dipakai individu satu sama lain. Jarak pribadi ini masih mengenal pembagian fase menjadi 2 :
• Fase dekat (1,5-2,5 kaki)
Pada fase dekat masih memungkinkan banyak sekali pertukaran sentuhan, bau, dan isyarat-isyarat lainnya, meski tidak sebanyak pada intimate distance.
• Fase jauh (2,5-4 kaki)
Pada jarak jauh, jaraknya dapat memanjang sampai jarak dimana masing-masing orang dapat saling menyentuh dengan mengulurkan tangannya.
3. Jarak sosial
Jarak sosial mempunyai jarak 4-25 kaki dan merupakan jarak-jarak normal yang memungkinkan terjadinya kontak sosial yang umum serta hubungan bisnis. Pada bagian yang dekat dengan zona sosial pada jarak 4-7 kaki, kontak visual tidak begitu terselaraskan dengan baik dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya.
4. Jarak publik
Pada jarak publik memiliki jarak 12-25 kaki atau jarak-jarak dimana isyarat-isyarat komunikasi lebih sedikit dibandingkan dengan daerah-daerah terdahulu.

SUMBER ;
1. Prabowo,hendro.1998.Arsiktektur,Psikologi dan Masyarakat.jakarta:Universitas Gunadarma
2. Sarwono,S.W.1992.Psikologi Lingkungan.Jakarta:PT.Gramedia

Senin, 28 Maret 2011

KEPADATAN DAN KESESAKAN

KEPADATAN

Menurut Altman (dalam Prabowo, 1998), di dalam studi sosiologi sejak tahun 1920an, variasi indicator kepadatan berhubungan dengan tingkah laku sosial. Variasi indicator kepadatan meliputi jumlah individu dalam sebuah kota, jumlah individu pada daerah sensus, jumlah inndividu pada unit tempat tinggal, jumlah ruangan pada unit tempat tinggal, jumlah bangunan pada lingkungan sekitar dan lain-lain.
Kepadatan dapat dibedakan ke dalam beberapa kategori. Holahan (dalam Prabowo, 1998) menggolongkan kepadatan dalam 2 kategori yaitu:
1. Kepadatan spasial (spatial density) yang terjadi bila besar atau luas ruangan diubah menjadi lebih kecil atau sempit sedangkan jumlah individu tetap, sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan menurun besar ruang.
2. Kepadatan sosial (social density) yang terjadi bila jumlah individu ditambah tanpa diiringi dengan penambahan besar atau luas ruangan sehingga didapatkan kepadatan emningkat sejalan dengan bertambahnya individu.

Menurut Altman (dalam Prabowo, 1998) membagi kepadatan menjadi kepadatan dalam (inside density) dan kepadatan luar (outside density).
1. Kepadatan dalam
Sejumlah individu yang berada dalam suatu ruang atau tempat tinggal seperti kepadatan di dalam rumah, kamar dan lain-lain.
2. Kepadatan luar
Sejumlah individu yang berada pada suatu wilayah tertentu, seperti jumlah penduduk yang bermukim di suatu wilayah pemukiman.

Zlutnick dan Altman (dalam Prabowo, 1998) menggambarkan sebuah model dua dimensi untuk menunjukkan beberapa macam tipe lingkungan pemukiman, antara lain :
1. Lingkungan pinggiran kota, yang ditandai dengan tingkat kepadatan luar dan kepadatan dalam yang rendah.
2. Wilayah desa miskin dimana kepadatan dalam tinggi sedangkan kepadatan luar rendah,
3. Lingkungan mewah perkotaan, dimana kepadatan dalam rendah sedangkan kepadatan luar tinggi.
4. Perkampungan kota yang ditandai dengan kepadatan luar dan kepadatan dalam yang tinggi.

Menurut Taylor (dalam Prabowo, 1998), lingkungan sekitar dapat merupakan sumber yang penting dalam mempengaruhi sikap, perilaku dan keadaan internal seseorang di suatu tempat tinggal. Oleh karena itu, individu yang bermukim di pemukiman dengan kepadatan yang berbeda mungkin menunjukkan sikap dan perilaku yang berbeda pula.

AKIBAT KEPADATAN TINGGI

Menurut Heimstra dan Mc Farling (dalam Prabowo, 1998) kepadatan memberikan akibat bagi manusia baik secara fisik, sosial maupun psikis.
• Akibat secara fisik
Reaksi fisik yang dirasakan individu seperti peningkatan detak jantung, tekanan darah, dan penyakit fisik lain.
• Akibat secara sosial
Adanya masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat seperti meningkatkan kriminalitas dan kenakalan remaja.
• Akibat secara psikis

Terdapat beberapa akibat berdampak pada psikis, antara lain :
o Stres, kepadatan tinggi dapat menumbuhkan perasaan negatif, rasa cemas dan perubahan suasana hati.
o Menarik diri, kepadatan tinggi menyebabkan individu cenederung untuk menarik diri dan kurang mau berinteraksi dengan lingkungan sosialnya.
o Perilaku menolong (prososial) kepadatan tinggi juga menurunkan keinginan individu untuk menolong atau memberi bantuan pada orang lain yang membuuhkan terutama pada orang yang tidak dikenal.
o Kemampuan mengerjakan tugas, situasi padat menurunkan kemampuan individu untuk mengerjakan tugas-tugasnya pada saat tertentu.
o Perilaku agresi, situasi padat yang dialami individu dapat menumbuhkan frustasi dan kemarahan, serta pada akhirnya akan terbentuk perilaku agresi.

KESESAKAN

Menurut Altman (dalam Prabowo, 1998), kesesakan adalah suatu proses interpersonal pada suatu tingkatan interaksi manusia dengan manusia satu dengan lainnya dalam satu pasangan atau kelompok kecil. Perbedaan pengertian antara crowding (kesesakan) dengan density (kepadatan) memiliki pengertian yang sama dalam merefleksikan pemikiran secara fisik dari sejumlah manusia dalam suatu kesatuan ruang.

Morris (dalam Prabowo, 1998) member pengertian kesesakan sebagai deficit suatu ruangan. Hal ini berarti bahwa dengan adanya sejumlah orang dalam suatu hunian rumah, maka ukuran per meter persegi setiap orangnya menjadi kecil, sehingga dirasakan adanya kekurangan ruang. Dalam suatu unit hunian, kepadatan ruang harus diperhitungkan dengan mebel dan peralatan yang diperlukan untuk suatu aktivitas. Oleh karenanya untuk setiap ruang akan memerlukan suatu ukuran standar ruang yang berbeda, karena fungsi dari ruang itu berbeda.
Adapun kesesakan dikatakan sebagai keadaan motivasional yang merupakan interaksi dari faktor spasial, sosial dan personal, dimana pengertiannya adalah persepsi individu terhadap keterbatasan ruang sehingga timbul kebutuhan akan ruang yang lebih luas. Jadi rangsangan berupa hal-hal yang berkaitan dengan keterbatasan ruang disini kemudian diartikan sebagai suatu kekurangan. Pada dasarnya batasan kesesakan melibatkan persepsi seseorang terhadap keadaan ruang yang dikaitkan dengan kehadiran sejumlah manusia, dimana ruang yang tersedia dirasa terbatas atau jumlah manusianya yang dirasa terlalu banyak.

PENGUKURAN KESESAKAN

Kesesakan dalam penelitian ini diukur dengan skala kesesakan yang disusun berdasarkan aspek-aspek kesesakan oleh Gifford. Kesesakan mengacu pada faktor internal dan eksternal. Kalb & Keating (dalam Zuhriyah, 2007) meneliti para pelanggan toko buku universitas dalam situasi yang ramai. Subjek penelitian diminta mengungkapkan situasi yang dialami. Responden tersebut menyatakan kesesakan mengacu pada perasaan negatif dalam diri yang timbul akibat keramaian yang terjadi (internal focus) dan di sisi lain kesesakan mengacu pada bagaimana keramaian itu terjadi atau lebih menunjuk pada faktor di luar diri (external focus).

Menurut Stokols dan Sundstrom (dalam Zuhriyah, 2007) kesesakan memiliki tiga aspek yakni:
a) Aspek situasional, didasarkan pada situasi terlalu banyak orang yang saling berdekatan dalam jarak yang tidak diinginkan sehingga menyebabkan gangguan secara fisik dan ketidaknyamanan, tujuan yang terhambat oleh kehadiran orang-orang yang terlalu banyak, ruangan yang menjadi semakin sempit karena kehadiran orang baru ataupun kehabisan ide.
b) Aspek emosional, menunjuk pada perasaan yang berkaitan dengan kesesakan yang dialami, biasanya adalah perasaan negatif pada orang lain maupun pada situasi yang dihadapi. Perasaan positif dalam kesesakan tidak dapat dipungkiri, namun perasaan ini hanya terjadi jika individu berhasil menangani rasa sesak dengan strategi penanggulangan masalah yang digunakan.
c) Aspek perilakuan, kesesakan menimbulkan respon yang jelas hingga samar seperti mengeluh, menghentikan kegiatan dan meninggalkan ruang, tetap bertahan namun berusaha mengurangi rasa sesak yang timbul, menghindari kontak mata, beradaptasi hingga menarik diri dari interaksi sosial.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KESESAKAN

Faktor-faktor yang mempengaruhi kesesakan meliputi faktor individu, sosial dan fisik (dalam Zuhriyah, 2007) :
a) Faktor individu
Faktor individu terdiri atas kepribadian, minat dan harapan-harapan individu. Faktor kepribadian meliputi kemampuan kontrol dalam diri individu. Kendali diri internal yakni keyakinan bahwa segala sesuatu yang terjadi lebih dipengaruhi oleh diri individu sendiri dapat membantu individu menghadapi stres akibat kesesakan yang dirasakan. Minat berkaitan dengan kecenderungan berafiliasi atau bersosialisasi. Individu yang memiliki ketertarikan terhadap individu lain dalam ruangan yang padat akan memiliki toleransi terhadap kesesakan yang lebih tinggi daripada individu yang tidak memiliki kecenderungan untuk berafiliasi dengan individu lain dalam ruang yang padat. Hal ini terlihat dalam penelitian Stuart Miller, dkk (dalam Zuhriyah, 2007) pada tahun 1971 yang menyatakan bahwa kecenderungan berafiliasi yang tinggi membantu individu menghadapi kepadatan yang tinggi daripada ketika harus menghadapi kepadatan yang tinggi seorang diri. Harapan atau prasangka juga mempengaruhi rasa sesak yang dirasakan, individu yang berharap pertambahan orang baru hanya sedikit tidak terlalu merasa sesak dibanding individu yang menyangka pertambahan orang baru dalam ruangan akan lebih banyak dari keadaan sebenarnya. Selanjutnya pengalaman pribadi akan mempengaruhi tingkat stres yang terjadi akibat kepadatan yang tinggi. Individu yang telah terbiasa dengan situasi yang padat akan lebih adaptif dan lebih bersikap toleran dalam menghadapi kepadatan dalam situasi baru.
b) Faktor sosial
Faktor sosial antara lain kehadiran dan tingkah laku orang yang berjarak paling dekat, koalisi yang terbentuk dalam kelompok-kelompok kecil dan informasi yang diterima individu berkaitan dengan kesesakan yang dirasakan. Hambatan terhadap tujuan yang ingin dicapai dapat menimbulkan stres. Ketika kepadatan meningkat, privasi menjadi menurun sehingga individu harus berpikir keras untuk menghadapi situasi yang menekan, gangguan secara fisik meningkat dan kemampuan kontrol dapat berkurang. Faktor sosial lain adalah kualitas hubungan diantara individu yang harus berbagi ruang. Individu yang memiliki cara pandang yang sama akan merasa cocok satu sama lain dan lebih mudah menghadapi situasi yang padat, sementara informasi yang jelas dan akurat akan membantu individu menghadapi kesesakan yang dialami.
c) Faktor fisik
Faktor fisik meliputi keadaan ruang, bangunan, lingkungan, kota, dan arsitektur bangunan seperti ketinggian langit-langit, penataan perabot, penempatan jendela dan pembagian ruang. Menurut penelitian Baum, dkk (dalam Zuhriyah, 2007) pada tahun 1978, koridor yang panjang menimbulkan rasa sesak juga persaingan dan penarikan diri secara sosial, menurunkan kerja sama, dan menimbulkan kontrol diri yang rendah.

DAFTAR PUSTAKA

Prabowo, Hendro. 1998. Arsitektur, Psikologi dan Masyarakat. Depok : Universitas Gunadarma.

Zuhriyah. 2007. Hubungan antara Kesesakan dengan Kelelahan Akibat Kerja pada Karyawan bagian Penjahitan Perusahaan Konveksi PT Mondrian Klaten Jawa Tengah. Skripsi. Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Minggu, 06 Maret 2011

KOMUNITAS “PUNK” DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT

Pada masa kini dengan adanya globalisasi, banyak sekali kebudayaan yang masuk ke Indonesia, sehingga tidak dipungkiri lagi muncul banyak sekali kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat. Kelompok-kelompok tersebut muncul dikarenakan adanya persamaan tujuan atau senasib dari masing-masing individu maka muncullah kelompok-kelompok sosial di dalam masyarakat. Kelompok-kelompok sosial yang dibentuk oleh kelompok anak muda yang pada mulanya hanya dari beberapa orang saja kemudian mulai berkembang menjadi suatu komunitas karena mereka merasa mempunyai satu tujuan dan ideologi yang sama. Salah satu dari kelompok tersebut yang akan kita bahas adalah kelompok “Punk”, yang terlintas dalam benak kita bagaimana kelompok tersebut yaitu dengan dandanan ‘liar’ dan beda dari yang lain, seperti baju kumal, jaket berspike, celana ketat, sepatu boots dan berambut mohawak ala kaum Indian dan rambut dicat dengan potongan ke atas dengan anting-anting. Mereka biasa berkumpul di beberapa titik keramaian pusat kota dan memiliki gaya dengan ciri khas sendiri. “Punk” hanya aliran tetapi jiwa dan kepribadian pengikutnya, akan kembali lagi ke masing-masing individu. Motto dari anak-anak “Punk” itu tersebut, Equality (persamaan hak) itulah yang membuat banyak remaja tertarik bergabung didalamnya. “Punk” sendiri lahir karena adanya persamaan terhadap jenis aliran musik “Punk” dan adanya gejala perasaan yang tidak puas dalam diri masing-masing sehingga mereka mengubah gaya hidup mereka dengan gaya hidup “Punk”.

“Punk” pertama lahir di negara Inggris sekitar tahun 1960an, ketika terjadi revolusi industri. Keberadaan “Punk” lahir ketika itu adalah sebagai bentuk tindakan penolakkan terhadap segala macam penindasan yang banyak terjadi terutama dikalangan masyarakat kelas bawah atau pekerja. Banyak yang beranggapan bahwa anak “Punk” yang berpenampilan seperti itu selalu berandalan, perusuh dan selalu bikin onar. Orang yang berpandangan seperti itu terhadap anak Punk yang suka nongkrong di pinggir jalan biasanya hanya memandang dari segi luar mereka atau dari dandanan yang menyeramkan. Salah satunya perilaku sex bebas dengan anak Punk perempuan. Adanya wanita yang masuk komunitas ini, bisa dipastikan tidak lagi perawan. Saat mereka mabuk, segala perbuatan nista dengan gampangnya bisa terjadi. Namun, jika kita mengenal lebih dalam tentang anak Punk tidaklah semua anak Punk yang selalu berpenampilan beda itu selalu bersikap berandalan. kebersamaan dari semua anak punk adalah kawan dan bersaudara tanpa ada senioritas dan junioritas. Semua sama dan sejajar / setara, Punk menganggap kebersamaan sesama anak Punk satu sama lain akan membuat mereka bersatu dan lebih kuat. Salah satu nilai positif dari punk yang bisa saya ambil yaitu kebersamaan dan kemandirian dalam melakukan sesuatu. Jadi kebebasan tidaklah diartikan sebagai tindakan semaunya sendiri akan tetapi kebebasan bertindak tapi juga harus bisa mengontrol diri sendiri agar tidak merugikan diri sendiri dan merusak orang lain.


Sumber: http://perpustakaan-online.blogspot.com/2008/06/aliran-punk.html

Minggu, 19 Desember 2010

Program Pengembangan Kreativitas pada Korban Bencana Alam

Febrina Nur Sulistiyawati (10508078)
Devie Wahyu Wulandari (10508057)
Melly Widiastuti (10508134)
Esther Markus (10508070)
Hanna Amalita (10508097)

Bencana alam merupakan salah satu hal yang dapat datang kapan saja dan terkadang hal tersebut sulit diprediksi kapan datangnya sehingga membuat beberapa pihak kurang siap untuk membuat pengungsian sementara maupun bantuan-bantuan lain yang dibutuhkan oleh para pengungsi. Contohnya seperti bencana alam meletusnya Gunung Merapi yang belum lama ini terjadi, meskipun sudah ada alarm tanda bahaya jika ada peningkatan status pada Gunung Merapi dan sudah ada pula penunjuk-penunjuk jalan untuk mengarahkan mereka untuk evakuasi bencana tetapi tetap saja masih banyak korban jiwa berjatuhan dan mengalami kerugian materil karena tidak ada yang tahu seberapa besar gempa yang terjadi, sejauh mana awan panas (wedus gembel) berhembus, sejauh mana lahar panas maupun lahar dingin mengalir bahkan seberapa jauh abu vulkanik menghujani daerah-daerah sekitar bencana. Maka tidak heran jika peristiwa tersebut membuat para pengungsi mengalami stress, depresi, putus asa bahkan ada pula yang menjadi gila atas trauma yang mereka hadapi. Bencana alam merupakan salah satu pemicu terjadinya PTSD (posttraumatic stress disorder), apalagi bagi korban yang kehilangan harta benda sekaligus dengan orang-orang yang dicintainya meskipun mayoritas otang yang mengalami trauma tidak lantas berlanjut menderita PTSD. Bahkan sebagian besar menderita gangguan stress akut jika stresor menyebabkan kerusakan yang signifikan dalam keberfungsian sosial dan pekerjaan selama kurang dari satu bulan. Oleh karena itu, membuat pengungsian yang lebih manusiawi dan lebih layak bagi para pengungsi sangatlah dibutuhkan untuk menghindari stress berkepanjang.

Menurut kami, pengungsian yang layak tidak hanya memenuhi keperluan sehari-hari mereka seperti makan, minum, air bersih, selimut, obat-obatan, dll tetapi pihak relawan ataupun pemerintah juga harus memikirkan kesehatan psikologis para pengungsi terutama bagi anak-anak yang mudah trauma dengan bencana alam tersebut. Seperti contohnya, anak mengalami gangguan tidur dengan mimpi buruk tentang monster pun umum terjadi, sebagaimana juga perubahan perilaku misalnya seorang anak yang semula periang menjadi kasar dan agresif. Beberapa anak yang mengalami trauma mengalami trauma mulai berpikir bahwa mereka tidak akan hidup hingga mencapai usia dewasa. Beberapa anak juga kehilangan keterampilan perkembangan yang sudah dikuasai seperti berbicara atau menggunakan toilet. Terakhir, anak-anak jauh lebih sulit berbicara tentang perasaan mereka dibanding dengan orang dewasa.

Masalah dan stress yang dialami oleh anak-anak dengan orang dewasa saat bencana alam terjadi pastilah berbeda. Untuk menangani anak-anak dalam mengurangi ketegangan-ketegangan terhadap peristiwa bencana atau evakuasi yang terjadi, relawan atau bahkan sesama pengungsi bisa saja dengan mengajak mereka bermain bersama. Dengan mengajak tersenyum dan tertawa akan cukup menghibur mereka kecuali jika anak tersebut mengalami trauma dengan tingkat yang cukup parah seperti kehilangan keluarga yang membuat anak tersebut sangat terguncang psikologisnya maka ia membutuhkan perhatian khusus penanganannya dan akan lebih bagus lagi jika ditangani oleh orang-orang yang lebih kompeten dalam bidangnya misalnya psikolog. Namun bagi orang dewasa, masalah yang dihadapi ketika bencana alam terjadi lebihlah kompleks, seperti para pengungsi bencana alam di Gunung Merapi, mereka sedih ketika kehilangan keluarga, harta benda dan tidak mendapatkan penghasilan selama mengungsi sehingga ada beberapa pengungsi Merapi yang rela mempertaruhkan nyawa mereka untuk keluar pada siang hari dari pengungsian dan menuju rumah yang mereka tinggali untuk mengurus hewan ternak mereka ataupun mengurus sawah atau kebun mereka dan ada pula yang tetap nekat untuk mengeruk tambang pasir agar mereka tetap memiliki penghasilan karena tabungan mereka sudah terkuras ketika harus mengungsi.

Menurut kami, ada salah satu cara yang dapat mengurangi ketegangan yang dialami pengungsi (baik anak-anak maupun dewasa) dan mencegah agar sttress yang dialami tidak berkepanjangan adalah dengan membuat kesibukan baru bagi mereka sehingga mereka tidak hanya duduk diam di pengungsian dan melamun atas nasib yang mereka hadapi dan di samping itu juga mereka akan mendapatkan penghasilan dari kesibukan baru tersebut. Caranya adalah dengan mengajak mereka untuk mengembangan kreativitas mereka dengan membuat kerajinan tangan sesuai dengan kemampuan dan minat mereka. Dalam mengembangan kreativitas seseorang dibutuhkan beberapa pendekatan yang biasa disingkat menjadi 4P antara lain :

1. Pribadi
Kreatifitas adalah ungkapan keunikan individu dalam interaksi dengan lingkungan. Dari pribadi yang unik inilah diharapkan timbul ide-ide baru dan produk-produk yang inovatif dari para pengungsi. Bagi anak-anak, mereka bisa saja di ajak menggambar, melukis, mewarnai, membuat kerajinan kipas, gantungan kunci, aksesoris manik-manik atau apa saja yang mereka inginkan. Bagi orang dewasa bisa saja membuat kerajinan yang sama dengan yang dibuat anak-anak atau ditambahkan lagi seperti menyulam, menjahit baju, membatik kain, membuat tas dari kain perca, membuat keset dari kain perca atau apa saja yang mereka inginkan dan akan lebih bagus lagi jika mereka dapat membuat sesuatu yang khas dari tempat tinggal mereka. Mungkin bagi para lelaki mereka lebih tertarik dengan membuat perkakas, perabotan rumah tangga seperti lemari buku, lemari baju, meja, kursi dll. Tidak sebatas dengan kerajinan tangan saja, tetapi mereka juga dapat membuat karya sastra seperti puisi, aransemen musik maupun lirik lagu.

2. Pendorong
Untuk mewujudkan bakat kreatif seseorang diperlukan dorongan dan dukungan dari lingkungan (motivasi eksternal) yang berupa apresiasi, dukungan, pemberian penghargaan, pujian, insentif, dan dorongan dari dalam diri siswa sendiri (motivasi internal) untuk menghasilkan sesuatu. Disinilah peran serta pemerintah ataupun para sukarelawan dibutuhkan, salah satunya adalah dengan memberikan mereka modal atau bahan-bahan yang mereka butuhkan.

3. Proses
Untuk mengembangkan kreativitas, pengungsi perlu diberi kesempatan untuk bersibuk secara aktif dan memberi kebebasan untuk mengekspresikan dirinya secara kreatif. Dalam proses ini di harapkan, dengan pengungsi menyibukan dirinya secara aktif maka mereka mempunyai kesibukan baru yang positif selama di pengungsian dan tidak kehilangan makna hidup mereka.

4. Produk
Yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa menghargai produk kreativitas dan mengkomunikasikannya kepada yang lain, misalnya dengan mempertunjukkan atau memamerkan hasil karya mereka. Peran pemerintah dan sukarelawan tidak berhenti pada modal saja, tetapi mereka juga dapat membuatkan pameran di kota-kota besar seperti di Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Medan dll dengan harapan akan banyak penonton atau pembeli yang hadir. Namun jika, terbatasnya dana maka bisa saja pameran tersebut diselenggarakan di daerah bencana tetapi pilihlah tempat-tempat yang sekiranya ramai dan dapat menarik perhatian banyak pengunjung. Dalam pameran tersebut di pamerkan dan di jual hasil kerajianan tangan yang dibuat oleh para pengungsi. Selain itu dapat pula dibuat live performance dari para pengungsi bagi mereka yang ingin membawakan hasil karya puisi, lagu maupun musik mereka atau dapat pula karya-karya tersebut disatukan menjadi musikalisasi puisi atau drama musikal. Apabila terdapat suatu hasil karya yang pantas di lelang seperti lukisan atau hasil batik yang indah, maka pihak penyelenggara dapat juga membuatkan acara lelang dan karya tersebut akan diberikan pada hadirin yang menawar dengan tawaran tertinggi.

Hasil dari penjualan kerajinan tangan, pembelian tiket dan hasil lelang tersebut dapat disumbangkan bagi para pengungsi untuk kelangsungan hidup mereka selama di pengungsian (jika mereka masih harus mengungsi) maupun modal untuk membangun kembali rumah atau lahan usaha mereka yang rusak (jika mereka sudah tidak lagi di pengungsian). Selain itu, program ini juga dapat digunakan untuk mengembangan bakat dan kreativitas yang mereka miliki selama berada di barak pengungsian. Dengan harapan kreativitas mereka dapat terus dikembangan dan dapat membantu mereka jika mereka ingin membuat usaha baru karena tidak sedikit dari korban bencana alam yang kehilangan lahan mata pencahariannya.

Diharapkan pengembangan kreativitas ini tidak hanya digunakan korban bencana alam di Gunung Merapi saja, tetapi dapat juga digunakan di bencana alam lainnya meskipun kami tidak berharap akan ada bencana lama lainnya.

Semoga Bermanfaat

Jumat, 08 Oktober 2010

FOOTSAL YANG MENYENANGKAN

Di sore hari yang mendung, saya mendatangi seseorang yang mepunyai hobi berolahraga footsal. Ia mengikuti banyak kelompok dalam footsal, ada kelompok yang terbentuk dari rumah, sekolah, dan kampusnya. Tapi, saat ini saya akan membahas kelompoknya yang terdapat dirumahnya yaitu bernama Bolo footsal. Sebelumnya saya akan membahas sedikit tentang apa itu footsal. Footsal sama seperti sepakbola identik dengan permainan kaki. Footsal merupakan suatu permainan yang mengalir begitu saja tana adanya persiapan khusus yang artinya seorang pemain harus melakukan improvisasi untuk menghadai situasi yang bakal berubah dalam pertandingan. Footsal dan sepakbola serupa namun tak sama. Dilihat dari bentuk lapangan yang berbeda, footsal mempunyai lapangan lebih kecil daripada sepakbola dan footsal berada di indoor. Footsal lebih menekankan pada kemampuan (skill) dibandingkan fisik. Bola yang lebih kecil dan ringan menjadi instrument yang bagus dalam membantu mengembangkan teknik individu. Selain itu jumlah pemain yang sedikit yaitu sebanyak 5 orang dalam satu regu membuatnya saling membantu dan harus memiliki mental serta karakter bertahan dan menyerang. Semua pemain footsal sadar, mereka tidak boleh santai tapi harus aktif karena ermainan footsal butuh peran aktif dari seluruh pemain. Footsal termasuk permainan cepat yaitu ketika pemain terus bergerak ketimbang menunggu datangnya bola. Apalagi dengan kondisi lapangan yang kecil, maka sering terjadi gol dalam jumlah banyak yang dicetak yang dihasilkan oleh pemain berbeda.
Bolo footsal terbentuk dari keseringan mereka pada nongkrong didepan salah satu warung yang terletak di kayuringin (pastinya warung yang terdekat dengan rumah mereka ya..). kemudian dari obrolan-obrolan mereka tercetuslah untuk membuat kelompok footsal. Ketika saya bertanya,“Apa nama kelompok footsal saudara?” narasumber menjawab,“namanya Bolo footsal”. Lucu ya, karena penasaran saya bertanya, “Mengapa kalian beri nama Bolo?” dengan muka sedikit bingung narasumber menjawab, “spontan aja gitu keluar namanya, terlihat unik dan anak-anaknya pada setuju semua ya sudah kita pakai deh”. Bolo footsal yang dilatih oleh seorang pelatih bernama Encam berumur 25 tahun terbentuk sekitar bulan Mei 2010 dan pertama kali beranggotakan 11 orang sekarang sudah bertambah menjadi 20-an orang namun yang aktif hanya 15-an orang saja dengan range umurnya 17-22 tahun. Walaupun baru sedikit anggotanya tapi mereka kompak baik dalam bertanding maupun pada saat nongkrong. Memang team ini belum banyak pengalaman dan bukan team unggulan namun mereka haus akan kemenangan. Oh iya, mereka juga punya motto lho, “datang bertanding untuk menang”.
“Aktivitas apa saja yang team saudara lakukan?” Tanya saya, kemudian jawab narasumber ”ada physical training, tactical training, terus footsal games, friendly match, kadang ikutan footsal competition”. Walaupun tergolong baru team ini tapi mereka juga pernah menang lho melawan team yang terkenal seperti Merpati club pada Champion Footsal. Dengan tujuan yang sama, untuk mengikuti kompetisi footsal yang bergengsi, Mereka juga rajin latihan 2x seminggu yaitu setiap hari Selasa dan Jumat, pukul 19.00-21.00 wib. “kita tuh pada patungan semua buat sewa lapangan, terus buat biaya pertandingannya pas pendaftaran“, jawab narasumber ketika ditanyai dana darimana untuk latihannya. Biarpun kompak, namanya masalah-masalah kecil tetap ada lho, seperti adanya missed communication antar pemain, terus juga suka kesal kalau pas pertandingan ada posisi bagus buat dioper tapi ga dioper bolanya. Ketika kalah dalam pertandingan, mereka tidak menyerah namun mengevaluasi kembali kesalahan-kesalahan apa saja yang membuat team mereka kalah.
Berolahraga memang sangat penting untuk kesehatan jasmani, apalagi jika didukung oleh keluarga dan lingkungan sekitar. Dengan bermain footsal, kita juga bisa menjalin persahabatan dan persaudaraan. Demikian hasil wawancara saya dengan narasumber.

Senin, 07 Juni 2010

Es Mangga Leci

Bahan :
250 gr mangga indramayu yang masih mengkal
200 gr leci kaleng
1/2 sdt garam
250 gr gula pasir
500 ml air
Es batu

Cara membuat :
•Sirup : rebus air dan gula pasir hingga kental, dinginkan, sisihkan.
•Kupas magga, rendam dalam air garam yang sudah diberi sedikit air kapur sirih selama 5 menit, tiriskan. Parut mangga tipis memanjang, remas-remas dengan garam, bilas bersih.
•Rendam dalam air gula yang sudah dingin, biarkan semalaman hingga rasanya asam manis.
•Penyajian : tuangkan mangga bersama sirupnya dalam gelas. Tambahkan leci dan es batu secukupnya.

Selamat mencoba !

MENCERDASKAN MENTAL ANAK

Anak-anak yang mudah menyerah, cengeng, kecil motivasi juangnya untuk berprestasi, serta mudah tergoda, bisa dibilangkarena kecerdasan mental (adversitasnya) kurang. Padahal selain IQ dan EQ, kecerdasan yang disebut Adversity Quotient (AQ) juga menentukan keberhsilan. Paul G.Stoltz Phd, konsultan bisnis yang sudah dikenal secara international, penulis buku Adversity Quotient “Mengubah Hambatan Menjdi Peluang” meyakini factor ini sangat signifikan untuk kesuksesan seorang anak. Kemampuan seseorang dalam mengatasi kesulitan diukur dengan AQ.
AQ menurutnya adalah seperangkat instrumen (pola asuh) untuk membantu seseorang agar tetap gigih melalui saat-saat yang penuh tantangan. Orang yang tahan banting kata Paul yng juga president of peak learning incorporated, tidak akan terlalu menderita terhadap akibat negative yang berasal dari kesulitan.
Kemampuan ini harus dibangun sejak seseorang masih kanak-kanak. Sayangnya, sejumlah penelitian menyebutkan bahwa sikap tak berdaya telah diajarkan pda anak-anak sejak dini. Orang tua atau penyediaan pengasuh yang serba membantu ank, secara tak langsung mengajarkan ketakberdayaan. Guru yang membantu muridnya dalam ujian dengan menyediakan jawaban soal-soal, membuat anak enggan berusaha karena sudah merasakan ia toh akan lulus juga.

Pola asuh dan pola didik menurut Paul harus diubah dengan cara-cara yang dapat membangun kekuatan mental dan daya juang anak. Diantara caranya adalah:
Bangun motivasi dan optimisme
Ajari anak untuk selalu berpandangan dan bersikap positif. Misalnya, melakukan sesuatu yang sulit, katakanlah “cobalah dulu. Ini tak sesulit yang kamu bayngkan kok. Pasti kamu bisa.” Anak yang diajarkan optimis dan mendapat motivasi yang cukup, dimasa dewasanya akan menjadi pribadi yang produktif, selalu punya energi dan kemauan untuk belajar, serta memiliki kebernian mengambil resiko.
Melatih anak menghadapi kesulitan
Kesulitan pasti ada dalam hidup ini. Tetapi bagaimana agar saat anak berhadapan dengan hambatan atau kesulitan tak langsung menyerah. Jangan ajarkan anak ketergantungan. Biarkan ia menyelesaikan masalahnya. Caranya dengan mengasah panca inderanya. Misalnya kalau sering diusilin temannya, mintalah ia memerhatikan saat-saat temannya menjadi nakal dan usil, lalu waspadalah pada saat tersebut. Atau ia ingin memiliki benda tertentu? Mintalah ia berpikir bagaimana mendapatkannya. Secara tak langsung anda mengasah indera anak untuk siap menghadapi kesulitan.
Melatihnya memilih dan menentukan
Ada banyak pilihan yang menggoda kita, apalagi anak-anak. Tapi ajarilah memilih yang perlu dan dibutuhkannya. Missal, menginginkan beberapa item benda, katakana untuk memilih satu saja yang benar-benar dibutuhkannya. Ingin ganti HP dengan yang lebih bagus, minta tambah uang sakunya, ajarkan untuk memberi penjelasan dan menganalisa sehingga anak akhirnya bisa menentukan perlu atau tidaknya.
Latihan menganalisa kegagalannya
Mengecamnya dengan kata-kata pedas? Tidak perlu. Tapi mintalah ia menganalisa mengapa ia gagal. Mengapa nilainya jelek, mengapa ditegur guru, mengapa tak mau bila diminta membantu ayah-ibu? Biarkan anak menjawab sendiri apa masalahnya. Dengan demikian ia akan tahu sebenarnya apa masalahnya dan bagaimana jalan keluarnya.
Orang tua sebagai model
Orang tua adalah contoh konkret tempat anak bercermin. Bila anda tak mudah menyerah, tidak cengeng (tak mudah mengeluh) bila menghadapi masalah dan kesulitan, tidak serba membantu anak missal mengerjakan PR anak karena ingin nilainya bagus dan sebagainya, anakpun akan mengopi sifat anda.