Senin, 07 Juni 2010

MENCERDASKAN MENTAL ANAK

Anak-anak yang mudah menyerah, cengeng, kecil motivasi juangnya untuk berprestasi, serta mudah tergoda, bisa dibilangkarena kecerdasan mental (adversitasnya) kurang. Padahal selain IQ dan EQ, kecerdasan yang disebut Adversity Quotient (AQ) juga menentukan keberhsilan. Paul G.Stoltz Phd, konsultan bisnis yang sudah dikenal secara international, penulis buku Adversity Quotient “Mengubah Hambatan Menjdi Peluang” meyakini factor ini sangat signifikan untuk kesuksesan seorang anak. Kemampuan seseorang dalam mengatasi kesulitan diukur dengan AQ.
AQ menurutnya adalah seperangkat instrumen (pola asuh) untuk membantu seseorang agar tetap gigih melalui saat-saat yang penuh tantangan. Orang yang tahan banting kata Paul yng juga president of peak learning incorporated, tidak akan terlalu menderita terhadap akibat negative yang berasal dari kesulitan.
Kemampuan ini harus dibangun sejak seseorang masih kanak-kanak. Sayangnya, sejumlah penelitian menyebutkan bahwa sikap tak berdaya telah diajarkan pda anak-anak sejak dini. Orang tua atau penyediaan pengasuh yang serba membantu ank, secara tak langsung mengajarkan ketakberdayaan. Guru yang membantu muridnya dalam ujian dengan menyediakan jawaban soal-soal, membuat anak enggan berusaha karena sudah merasakan ia toh akan lulus juga.

Pola asuh dan pola didik menurut Paul harus diubah dengan cara-cara yang dapat membangun kekuatan mental dan daya juang anak. Diantara caranya adalah:
Bangun motivasi dan optimisme
Ajari anak untuk selalu berpandangan dan bersikap positif. Misalnya, melakukan sesuatu yang sulit, katakanlah “cobalah dulu. Ini tak sesulit yang kamu bayngkan kok. Pasti kamu bisa.” Anak yang diajarkan optimis dan mendapat motivasi yang cukup, dimasa dewasanya akan menjadi pribadi yang produktif, selalu punya energi dan kemauan untuk belajar, serta memiliki kebernian mengambil resiko.
Melatih anak menghadapi kesulitan
Kesulitan pasti ada dalam hidup ini. Tetapi bagaimana agar saat anak berhadapan dengan hambatan atau kesulitan tak langsung menyerah. Jangan ajarkan anak ketergantungan. Biarkan ia menyelesaikan masalahnya. Caranya dengan mengasah panca inderanya. Misalnya kalau sering diusilin temannya, mintalah ia memerhatikan saat-saat temannya menjadi nakal dan usil, lalu waspadalah pada saat tersebut. Atau ia ingin memiliki benda tertentu? Mintalah ia berpikir bagaimana mendapatkannya. Secara tak langsung anda mengasah indera anak untuk siap menghadapi kesulitan.
Melatihnya memilih dan menentukan
Ada banyak pilihan yang menggoda kita, apalagi anak-anak. Tapi ajarilah memilih yang perlu dan dibutuhkannya. Missal, menginginkan beberapa item benda, katakana untuk memilih satu saja yang benar-benar dibutuhkannya. Ingin ganti HP dengan yang lebih bagus, minta tambah uang sakunya, ajarkan untuk memberi penjelasan dan menganalisa sehingga anak akhirnya bisa menentukan perlu atau tidaknya.
Latihan menganalisa kegagalannya
Mengecamnya dengan kata-kata pedas? Tidak perlu. Tapi mintalah ia menganalisa mengapa ia gagal. Mengapa nilainya jelek, mengapa ditegur guru, mengapa tak mau bila diminta membantu ayah-ibu? Biarkan anak menjawab sendiri apa masalahnya. Dengan demikian ia akan tahu sebenarnya apa masalahnya dan bagaimana jalan keluarnya.
Orang tua sebagai model
Orang tua adalah contoh konkret tempat anak bercermin. Bila anda tak mudah menyerah, tidak cengeng (tak mudah mengeluh) bila menghadapi masalah dan kesulitan, tidak serba membantu anak missal mengerjakan PR anak karena ingin nilainya bagus dan sebagainya, anakpun akan mengopi sifat anda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar